"Apakah Manusia dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika demikian, lantas apa yang ia sisakan dari kenikmatan surga?"
Saya teringat dengan apa yang saya alami beberapa tahun kemarin, selepas saya lulus dari SMU (waktu itu masih SMU blm berubah jd SMA ky skarang). Mengalami kegagalan berkali-kali untuk masuk ke PTN, ini kegagalan yg gak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan yg pertama or perdana. Dari mulai PMDK (yang saringannya lewat seleksi raport) sampai UMPTN (kalo skarang jadi SPMB) saya coba..
PMDK pilihan pertama saya memilih salah satu Institut di Bogor, dengan jurusan Agribisnis Pertanian. Padahal saya ga berminat sama sekali dg jurusan itu, tapi karena beberapa guru menyarankan saya memilih jurusan itu akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk memilih Agribisnis Pertanian. Kemudian PMDK yg kedua, saya memilih salah satu Universitas Negeri di Jogjakarta, dengan nilai raport yg bisa di bilang rada meyakinkan waktu itu untuk masuk ke Universitas tersebut.
Tapi keputusan finalnya tetep ada di pihak Ibu saya.. Beliau sepertinya kurang berkenan kalo saya kuliah jauh dari orang tua. Akhirnya dengan penuh penyesalan saya bilang ke wali kelas saya, kalau PMDK ke Jogjakarta nya ga jadi di ambil.
Sambil menunggu hasil dr PMDK itu, saya tetep ikutan UMPTN. UMPTN pertama saya, saya memilih lokasi di Bogor, coz biar bareng2 ma temen2 juga. Saya mengambil Program IPA untuk UMPTN pertama saya. Pilihan jurusannya waktu itu, Arsitektur dan Astronomi, itupun tanpa sepengetahuan orang tua saya. Kemudian untuk alternatif yg lain, saya ikutan juga test D3. Buat jaga2, kali aja PMDK dan UMPTNnya ga masuk kan masih ada cadangannya.
Akhirnya, saya ikut test D3 di Bandung di salah satu Universitas Negeri disana dg memilih jurusan Analisis Kimia. Tapi keberuntungan sepertinya belum memihak kepada saya. Pada waktu itu saya di hadapkan pada pilihan yg sulit. Pengumuman PMDK saya lulus, tapi saya tidak suka dg jurusannya, dan pd akhirnya gak jadi saya ambil. Yang saya inginkan pada saat itu, saya bisa lulus di Arsitektur atau Astronomi karena itu sesuai dg cita-cita saya. Dan tanpa saya duga.. Test D3 yg di bandung juga saya lulus, untuk jurusan Analisis Kimia.
Dengan meminta pertimbangan dari orang tua, di tambah teman2 terdekat juga saya mencoba mengkonsultasikan kesulitan yg saya hadapi. Sulit untuk menentukan pilihan, meskipun saya di terima di dua tempat. Akhirnya, keputusan finalnya tetap ada pada saya. Saya mencoba mengikuti kata hati saya sendiri, dengan penuh pertimbangan dan pemikiran.. Saya memutuskan untuk gak ambil keduanya. Karena saya ingin kuliah sesuai dengan jurusan dan minat saya pada waktu itu.
Sehingga saya memutuskan untuk mencoba ikut test SPMB (yg waktu itu di ganti dr UMPTN) yg kedua. Saya ambil program IPC, karna pd waktu itu saya mulai tertarik dg dunia sastra. Pilihan jurusan yg saya ambil tetep Arsitektur, Biologi, dan Sastra Indonesia. Tapi sepertinya saya perlu berdamai dg takdir.. Karena untuk yg kedua kalinya saya, gak lolos juga di SPMB.
Dari kejadian tersebut, saya belajar banyak hal. Bahwa pada suatu saat kita perlu berdamai dengan takdir. Kita harus belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas apa pun yg terjadi pada diri kita. Karena ada skenario takdir atas tiap-tiap usaha. Dan bermimpi bukanlah hal yg memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib. Seseorang pahlawan yg gugur dalam peperangan bukanlah pecundang.
Sampai hari ini, saya masih menyimpan impian untuk bisa kuliah di Kairo. Ini impian saya ketika saya pertama kali memutuskan untuk masuk Pesantren. Di Pesantren saya, banyak kakak kelas saya yg begitu lulus dari Aliyah, langsung terbang ke Mesir, ke negeri Piramid itu. Dan itu membuat saya begitu semangatnya belajar disana. Sungguh, saya masih menyimpan impian untuk menjadi ahli tafsir Al-qur'an sebagaimana dari awal saya sekolah di Tsanawiyah, saya telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian saya 'tersesat' ke bidang yg lain. Itu adalah takdir yg harus saya maklumi. Dalam hal ini, saya harus 'berdamai' dengan Nya atas apa yg Ia tentukan pada saya.
Kalaupun hingga saat ini saya tak juga 'mampu' untuk kuliah di sana, bukan lantas saya berhak dg semena-mena mematikan impian saya yg saya anggap 'mulia' ini. Saya telah memaksimalkan usaha saya, sejak saya kelas 1 Tsanawiyah. Namun, kenyataan berkata lain, rasanya memang tak cukup hanya dengan niat dan tekad. Saya selalu percaya Allah punya rencana tersembunyi atas setiap makhluk. Allah memiliki rancangan atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.
Saat terantuk kegagalan, yg saya lakukan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri kembali cara pandang saya terhadap hidup, dan memutuskan untuk memulai kembali sebuah impian. Hidup bukanlah kegagalan sepanjang kita berusaha.
Belajar berdamai dengan takdir, menerima kegagalan yg 'dikaruniakan' Allah kepada kita adalah seperti kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Walau nantinya yg kita pergunakan -untuk bekerja misalnya- adalah ijazah SMA, kita tetap harus menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah 'ijazah' kesuksesan, tetapi 'proses' dan 'menjadi'.
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar