Mereka menanti dengan gundah. Mempertebal kesabaran. Memperbaiki diri. Berdoa. Bahkan mengajukan “proposal kesiapan” pada sang murobbi. Namun, apa mau dikata, jodoh yang dinanti tak jua kunjung datang.
Merunut pada satu atau dua dekade lalu, pernikahan di antara ikhwan dan akhwat tampak begitu mudah terwujud. Sebentuk kemauan seolah cukup untuk dirangkai menjadi tekad bulat. Lewat murobbi atau perantaraan teman sendiri, satu demi satu pasangan muda mantap mengarungi bahtera rumah tangga.
Masih kuliah, atau sudah sarjana, sudah bekerja atau baru merintis usaha, Batak-Sunda atau Padang-Madura, UI-LIPIA atau Sarjana-SMA, tidak begitu menjadi soal. Bahkan kerut kening orangtua yang awalnya ragu mampu diatasi dengan pembuktian kemampuan diri dan sebentuk keyakinan yang sudah mengurat akar: Menikah adalah sebuah ibadah, penguatan dakwah, dan sunnah Rasulullah. Untuk apa menunda-nundanya?
Namun kini, dunia telah berubah. Jumlah lajang ikhwan dan akhwat ditengarai semakin banyak namun herannya soal pernikahan tak lantas menjadi semakin marak.
Bila diingat bahwa sebagian besar akhwat masih menjadi pihak yang menanti datangnya jodoh, dan dibatasi oleh “jam biologis” yang cukup ketat mengikat, pertanyaan pun akhirnya disampirkan pada kaum ikhwan yang ditengarai semakin betah berlama-lama melajang. Mengapa akhi?
Penurunan kematangan tarbiyah
Memasuki gerbang pernikahan memang bukan sekedar membutuhkan tindakan menikah, tetapi juga mindset—semacam keyakinan—yang jelas untuk siap menikah. Ustadz Amang Syafrudin, Lc, menjelaskan, agaknya soal mindset inilah yang sedikit banyak tengah mengalami perubahan.
“Pada tahun-tahun yang sudah berlalu dulu, mindset pernikahan di kalangan ikhwan lebih didasari oleh kematangan tarbiyah mereka yang pada akhirnya juga mempengaruhi kematangan kepribadian mereka.”
Kematangan tarbiyah ini, yang oleh Ustadz Amang disebutkan bisa didapat melalui tarbiyah dzatiyah (proses pembelajaran secara individual) ataupun lewat mekanisme tarbiyah di masyarakat semacam majelis ta’lim atau aneka pengajian, memang diketahui mampu mengasah pribadi-pribadi muslim untuk memiliki pemahaman yang mendalam dan keyakinan yang mengakar soal pernikahan.
“Bahwa menikah adalah sebuah ibadah, sunnah Rasul, jalan untuk memelihara kesucian diri, sarana membangun stabilitas diri, mengasah tanggung jawab dan akan mematangkan proses pendewasaan dirinya benar-benar dipahami dan diyakini dengan kuat, sehingga bimbingan Allah, liddiniha benar-benar dijadikan ukuran utama untuk menyegerakan pernikahan.”
Namun, Amang menilai, saat ini, kematangan tarbiyah telah menurun pada banyak ikhwah. Keyakinan dan pemahaman akan keutamaan bersegera menikah tidak lagi mengemuka. Ditambah lagi, aspek kehidupan pragmatis nyatanya telah mengalihkan mindset pernikahan ini pada ukuran-ukuran lingkungan.
“Masalah-masalah nikah memang jadi kurang disinggung apalagi dibahas mendalam dalam berbagai pengajian. Tambahan pula, era kehidupan yang semakin terbuka telah meningkatkan kebutuhan-kebutuhan kita pada masalah-masalah sosial, ekonomi, hingga politik telah menyita pemikiran kita. Semakin terpinggirkanlah urusan-urusan nikah ini dari mindset kita, karena yang asyik mengejar sisi ekonomi, sampai “lupa” menikah. Yang asyik mengurusi soal politik, juga bisa “lupa” menikah,” papar lulusan LIPIA ini lagi.
Industrialisasi dan pragmatisme
Senada dengan Amang, psikolog Indra Sakti juga menyoal kondisi lingkungan yang mempengaruhi perubahan pola pikir dan perilaku banyak orang soal nikah.
“Ada kemungkinan, dinamika sosial budaya masyarakat, termasuk soal industrialisasi, mempengaruhi perilaku menikah individu-individunya,” kata psikolog lulusan Universitas Indonesia ini membuka wacana. “Sebab, kalau kita lihat, usia menikah seseorang semakin “tua” pada masa kini. Dulu, tahun 70-an misalnya, belum menikah di usia 20-an itu sudah tergolong “terlambat”, tetapi sekarang, melajang di atas usia 30 pun masih terhitung biasa-biasa saja.”
Padahal, papar Indra, dalam hidupnya, manusia tetap memiliki tugas-tugas perkembangan kemanusiaan yang tak berubah. Yaitu fase-fase perkembangan diri yang pada setiap tahapnya memiliki aktivitas utama yang harus dijalani dan amat berguna untuk proses penapakan hidup selanjutnya.
Bila ada satu tugas perkembangan hidup yang terlewat, tentu dia akan kesulitan menapaki proses selanjutnya. Misalnya, pada usia 20 hingga 30-an, umumnya manusia tengah berada dalam fase dewasa dengan aktivitas utama mencari dan menemukan pasangan hidup, menikah, serta menjalani berbagai hal terkait persoalan tersebut. Sementara menjelang 40 tahun mereka mulai memasuki fase menemukan filosofi hidup, pemaknaan, dan pemantapan arah hidup.
“Tetapi, kalau sampai usia 30-an masih saja belum memasuki keseriusan mencari dan menemukan pasangan hidup, atau menjadi orangtua, dapat dikatakan, orang ini akan menjadi pribadi yang tidak utuh dalam menapaki proses hidup selanjutnya, karena ada sesuatu yang hilang dalam dari kepribadiannya,” urai ayah empat anak yang menikah saat masih kuliah ini.
Tak heran, lanjut Indra, orang-orang yang betah menjomblo hingga, katakanlah usia 35 tahun, cenderung senang dengan perilaku-perilaku nge-dugem, mengisi waktu untuk saat itu saja. Berpikiran pendek, karena memang kehilangan orientasi jangka panjang.
“Kepribadian tak utuh memang akan berdampak pada munculnya kekosongan hidup, hampa, tidak bermakna, punya kecemasan, hingga loneliness, kesepian pada diri seseorang.”
Tapi sayangnya, sebagaimana dijelaskan Amang dan Indra, industrialisasi atau pragmatisme hidup agaknya memang telah memundurkan semangat menyegerakan pernikahan.
Syarat dan pilihan
Memang sih, usia menikah tidak bisa diukur sama rata, tergantung kematangan dan kesiapan diri. Batas awal usia menikah yang dianggap umum pada tiap kultur masyarakat pun berbeda. Ada yang dimulai pada usia belasan tahun, ada yang dua puluh tahunan.
Tetapi, jelas Indra Sakti, batas akhirnya cenderung sama, yaitu pada akhir 30-an, karena bila dilihat dari tugas perkembangan manusia, usia menjelang 40 tahun ini seseorang sudah mulai memasuki fase menemukan hakikat hidup, pemaknaan akan tujuan hidup, arah hidup dan sejenisnya.
Kalau begitu, bagaimana bila sesosok ikhwan—meski sudah memasuki usia umum menikah—masih betah menjomblo karena punya alasan khusus berkaitan dengan syarat atau pilihan yang belum pas? Belum ketemu calon yang cocok misalnya, atau belum mapan secara ekonomi?
“Punya syarat dan pilihan ya sah-sah saja, seperti misalnya ingin calon isteri yang berprofesi dokter. Boleh-boleh saja kok,” kata Ustadz Amang.
Tetapi, lelaki kelahiran Sukabumi 43 tahun lalu ini lantas menambahkan, setiap syarat atau pilihan itu jangan sampai menjadi hambatan yang menyulitkan diri karena mempersulit diri justru dilarang dalam Islam.
“Akhwat dokter kan tidak banyak, dari yang ada pun pasti punya pilihan juga. Jadi, jangan sampai menikah terhambat gara-gara bersikeras ingin mendapat calon berprofesi dokter. Selain tidak syar’i, suasananya (pencariannya—red) juga jadi tidak balance kan?” tegas Amang.
Sementara soal kemapanan, Ketua Yayasan Al-Qudwah Depok ini mengingatkan para ikhwah untuk semakin meyakini janji Allah dalam memberi kecukupan rezeki pada mereka yang mau menikah (AnNur:32)
“Kita memang bisa cari rezeki dengan menikah. Sebab, dengan menikah, seseorang itu kan dirangsang untuk bertanggungjawab. Maka menikah benar-benar bisa menjadi stimulan yang sangat kuat bagi seorang ikhwan untuk mencari nafkah, memenuhi tanggung jawabnya.”
Sedikit berbeda, Indra Sakti menyebut bahwa soal ketidaksiapan ekonomi umumnya hanya sekedar menjadi “kambing hitam”. “Saya mendapati, keengganan atau betahnya seorang ikhwan menjomblo sebenarnya lebih dikarenakan keengganannya untuk bertanggung jawab,” ungkapnya.
Berdasarkan pengalamannya sebagai psikolog, Indra lantas menyebut, keengganan menikah pihak lelaki dalam menikah umumnya terdiri atas tiga alasan besar; pertama karena dia tidak betul-betul meyakini tipe mana yang cocok buat dia sehingga selalu saja melihat calon yang ditawarkan sebagai tidak cocok.
Kedua, keraguan untuk bertanggungjawab terhadap orang lain. Dan ketiga ketiadaan kemandirian secara sosial. Sebagai contoh, ada sosok yang walau sudah kerja, sudah sarjana, tetapi nyatanya sangat tergantung pada orangtua.
Maka, demi menghindarkan diri dari alasan-alasan yang sesungguhnya berpangkal pada persoalan kepribadian sendiri, mulai sekarang, asahlah diri agar semakin matang dan tidak ragu-ragu lagi untuk menikah. Wallahu a’lam.
—dari : majalan UMMI, edisi Juni 2007—
Teruntuk para Ikhwan yG 'Enggan' Menikah.. ;-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar