Selasa, 26 Februari 2008

Ayat-ayat Cinta El Shirazy



…Namun kau hidup mengaliri
Pori – pori cinta dan semangatku
Sebab
Kau adalah hadiah agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku…!


Dari ayat-ayat cinta yang memendarkan berjuta cahaya itu, sayapun memilih salah satu berkasnya. Berkas yang bicara tentang wanita. Dari merekalah kita berbicara tentang kesejatian, kejujuran perasaan, dan ungkapan penuh kelembutan. Leo Tolstoy mengungkapkan hal ini dalam cerpen berjudul Ilyas. “Jika aku berkata kepadamu tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, kalian mungkin takkan percaya. Lebih baik bertanyalah pada isteriku. Ia adalah seorang perempuan, apa yang ada dihatinya itu pulalah yang akan keluar dari lidahnya. Ia akan berkata jujur.”

Kita bahas satu persatu ya.. dan saya ingin memulai dengan Noura.

Noura dan Cinta Posesifnya

Awal-awal, mari kita dengar sendiri Noura mengisahkan hidupnya. “Malam itu”, kata Noura, “Aku mengira, aku akan menjadi gelandangan dan tidak memiliki siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka. Dan menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan derita.”

Noura, seorang wanita dengan kerentanan perasaannya setelah kezhaliman-kezhaliman yang dialaminya tentu merasakan suatu getaran khusus, getaran yg sangat istimewa ketika seorang pemuda memberikan perhatian kepadanya. Mungkin, si pemuda menganggap bahwa hal ini memang sudah selayaknya. Tapi karena orang lain tak pernah melakukannya, yg seharusnya itu menjadi sangat istimewa. Maka ia bertutur, “Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tidak memiliki siapa-siapa selain Allah di dalam dada, kaulah orang yg pertama datang dan memberikan rasa simpati dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air mata untukku, ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku."

Inilah hati seorang wanita yg telah tersentuh rasa, maka ia ingin memberikan segalanya. “Dalam hatiku, keinginanku saat ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yg tiada terkira dalamnya terhunjam dalam dada, aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yg bisa kau seka airmatanya, kau belai rambutnya, dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu.”

Tak banyak kisah tentang Nioura yg kita ketahui selanjutnya. Saya pun takkan mengada-ada dalam tebakan. Yang jelas, kisah ini berujung pada pengadilan yang menuduhkan perkosaan atas Noura kepada Fahri. Posisi perasaan seperti apa yg dialami Noura sehingga ia tega mengubah cintanya yg begitu dalam kepada Fahri menjadi sebuah fitnah yg keji?

Saya mencoba mencari-cari dalam karya sastra lain. Ternyata Victor Hugo menggambarkan hal yg mirip dalam Les Miserables, “Di setiap jalan yg terbuka baginya hanya ada kejatuhan. Takdir memiliki titik tertentu yg sangat terjal di atas kemustahilan, dan dibawahnya kehidupan tak lain hanyalah sebuah jurang. Javert, berada di salah satu titik tertinggi ini.”

Begitulah..kadang-kadang ada titik tersulit dalam hidup kita, ada noktah terpahit di lidah kita, dan ada ruang tersempit di dada untuk sekedar memilih. Dan Noura, dengan tekanan keluarganya, memilih untuk mengajak Fahri yg tak bersalah merasakan derita bersamanya atas nama cinta. Psikologi menyebutnya cinta posesif.

Noura yg seorang wanita Mesir, mengingatkan saya pada seorang wanita Mesir lain yg diabadikan Al-Quran. Ia, wanita yg tak disebut namanya oleh Al-Quran kecuali sebagai Imra’atul ‘Aziiz (Isterinya pejabat). Ia, wanita yg terpesona pada Yusuf seperti Noura terpesona pada Fahri. Tetapi Ia melangkah lebih jauh dengan menggoda Yusuf untuk berma’shiat. Dan ketika ajakan itu bertepuk sebelah jiwa, ia melontarkan tuduhan sebagaimana Noura.

“..Apakah pembalasan terhadap orang yg bermaksud buruk pada isterimu, selain dipenjarakan atau dihukum dengan ‘adzab yg pedih?”
(QS Yusuf : 26)

Fitnah! Apakah ini karakter wanita yg memiliki cinta posesif ketika ia terperosok dalam lubang yg tergali? Bukan, saya kira. Tetapi Al ‘Aziiz, suaminya, membuat sebuah konklusi yg diabadikan Al Quran . ketika berkata tentang tipu daya terhadap Yusuf, ia menggunakan kata ganti ‘kunna’ yg berarti kamu perempuan jamak, bukan ‘ki’ yg berarti kamu perempuan tunggal. Padahal jelas yg salah hanyalah isterinya. Mengapa? Sayapun belum menemukan jawabnya.

“..Sesungguhnya, ini termasuk tipu daya kalian! Sesungguhnya tipu daya kalian adalah besar!” (QS Yusuf : 29)

Inilah cinta, entah dalam versinya yg ke berapa. Cinta yg sangat posesif. Tuntutan kepemilikan yg sangat tinggi dan kecemburuan yg melahirkan tindakan yg fatal. Wah jadi psikologi banget, ‘Afwan..

Maria, Cinta Tulus dan Akhir Indah Sang Bidadari

“Dan entah kenapa”, kata Maria dalam Diari-nya, “Hatiku mulai condong kepadanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus yg menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu tiap pagi.”

Lagi – lagi wahai para lelaki, tampang Anda tak begitu berharga. Akhlaq Fahri yg luar biasa itulah yg telah menderapkan sejuta denyut cinta di hati Maria. Adakah kita dapati dalam riwayat Rasulullah memberi perhatian khusus dan care yg indah pada golongan wanita yang belum menikah? Tidak. Sama sekali. Karena setitik perhatian, senyum tulus, dan akhlaq yang baik tertuju pada hati seorang wanita, dampaknya sama seperti hunjaman wajah cantik ke retina mata dan imajinasi laki-laki. Laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki titik lemah dimana ujian akan datang.

Cinta Maria, adalah cinta yg menjadi rahasia terdalam sebuah hati. Ia tak tergesa mengungkapkannya. “Fahri”, tulisnya, “Aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu apa yg terjadi padaku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa dan tidak mau itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa bangga mencintai laki-laki yg kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti dirimu.”

Maria mengorbankan dirinya, hartanya, segalanya untuk cintanya pada Fahri. Ia nyaris menjadi budak cinta dan simpati ketika berkata, “Aku sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya.” Dan ketulusan cintanya, cinta yang memberi tanpa pamrih, cinta yg menyerahkan segalanya, diuji oleh perasaan manusiawinya ketika Fahri menikah dengan Aisha. “Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seseorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan menunggunya di surga.”

Sesungguhnya hidayah itu milik Allah, Dia berikan pada hambaNya mana saja yang dikehendakiNya. Maka dengan rahmatNya, Maria menjadi insane terpilih itu. Fithrahnya yang suci, kedekatannya dengan Al Quran, kecintaannya yang bersih pada Maryam dan Al Masih, simpatinya pada prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh Fahri, semua ini menuntunnya pada karunia agung Allah. Fahri pun, dalam motif keselamatan diri yang mendesak, telah memilih da’wah dan tanggung jawab sebagai muslim dalam melandaskan pernikahannya.

Cinta Maria berakhir manis. Pernikahan yang ia idamkan sekaligus surga yang ia damba., Allah kumpulkan untuknya dalam sehari. Kematian seorang pencinta, selalu menarik minat para sastrawan besar untuk melukiskannya.

Dialah sang bidadari! Dia penuh ketenangan berangkat ke alam yang indah. Ia berkata dengan bahasa cinta El Shirazy, “Aku masih mencium bau surga. Wanginya masuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya.”

Nurul dan Manajemen Cinta

Seperti bunga, cinta sejati takkan mampu menyembunyikan semerbak wanginya. Eksistensi cinta mengejawantah dalam kelembutan, kecerdasan, perbaikan diri, keshalihan, dan tentu saja keikhlasan. Tanpa keikhlasan yang digantungkan pada pemilik ‘Arsyi Maha Tinggi, ia akan mati. Ia mati, persis setangkai mawar yg di potong hanya untuk dipersembahkan pada kekasih disertai ucapan, “Be My Valentine!”. Cinta yang tercerabut dari tangkai keikhlasan akan menjadi bunga potong yang mungkin sesaat merona, dan selanjutnya masuk ke tempat sampah.

Nurul, sang aktivis da’wah, sedang belajar bersama kita menghayati rerangkai kata ini. Inilah Nurul, yang dalam aktivitas da’wahnya Allah perkenalkan pada Fahri, seorang ikhwan yang begitu mengagumkan. Tak terasa, pepatah jawa itu menemukan tempatnya di Mesir, “Witing tresna jalaran saka kulina.. Tumbuhnya cinta karena terbiasa.” Ia berdampingan dengan pepatah arab yang juga menggema di sana, “Qurbul wisaad wa thuulus siwaad.. cinta itu tumbuh karena dekatnya fisik dan panjangnya interaksi.”

Nurul, seorang aktivis yang memahami kaidah interaksi dalam ikatan syar’i, maka sejak awal baginya nikmat pacaran adalah setelah pernikahan. Dengan keagungan, ia coba arahkan cintanya terikat dalam bingkai suci. Pernikahan. Tetapi menawarkan diri sendiri kepada Fahri? Ia perempuan jawa yang mau tak mau di ikat tabu untuk hal seperti itu. Ia memilih sepasang perantara, Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemunah yang ternyata terlambat menyampaikan amanahnya. Fahri telah terlebih dahulu menyunting Aisha, meski jauh di lubuk hatinya Nurul juga adalah lentera yang bercahaya lebih terang daripada pelita-pelita lain.

Bagi seorang wanita, begitu konon, cinta pertama takkan terlupakan. Mari kita dengarkan Nurul bicara dalam suratnya, “Aku berusaha membuang cintaku padamu jauh-jauh. Tapi sudah terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap tegas, mencintaimu dan berterus terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku mencintaimu diam-diam, selama berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga cinta itu mendarahdaging tanpa aku berani berterus terang. Dan ketika kau tahu apa yang kurasa semuanya telah terlambat.”

Ya, Nurul merasa terlambat. Lalu ia mengajukan diri untuk satu hal yang menurutnya ringan bagi orang yang memahami Diin ini; Poligami. Tetapi Fahri, sebagaimana umumnya laki-laki yang dikaruniai kedewasaan dan pertimbangan mendalam, keberatan. Ia justru meminta Nurul membangun cintanya pada yang memang seharusnya ia cintai; suaminya kelak. Bagi Fahri, cinta sejati hanya ada setelah ikatan menghalalkan. Ia meminta Nurul mengesampingkan cinta yang belum saatnya itu. Dalam bahasa yang lebih awam, hati Nurul bergolak seperti yang digambarkan Sudhir Kakar, “Engkau memintaku untuk melupakan cintaku, seakan-akan cinta itu disebabkan oleh kemanjaanku..”

Teringat saya akan judul buku yang indah dari Mbak Izzatul Jannah, Karena Cinta Harus Diupayakan. Sebuah artikel dengan judul sama di dalam buku itu memuat kisah pembicaraan telepon antara beliau dengan seorang teman. Intinya, meski sudah berumahtangga cukup lama, si teman –seorang akhwat- masih memendam cinta yang menyekam dalam dada pada seorang ikhwan yg dikaguminya saat kuliah dulu. Dan ia, benar-benar tidak bisa – atau minimal kesulitan- untuk mencintai suaminya sendiri. Hwarakadah!

Seperti Mbak Izzatul Jannah menilai dalam uraiannya, saya sependapat bahwa ada yang telah membuntu di benak saudara kita ini. Ia kesulitan mencintai yang halal dan agung baginya, karena ia di perbudak cinta. Ia mendudukkan cinta sebagai penguasa yang membuat kita bertekuk lutut tanpa upaya apapun untuk mengendalikannya.

Jika pepatah jawa dan kata bijak dari Arab mengajarkan bahwa cinta bisa tumbuh setelah menikah, maka Allah mengajari kita untuk mengupayakan cinta. Seperti cinta kita padaNya yang tidak datang dengan sendirinya. Ia datang dengan iman. Iman datang karena hidayah. Hidayah datang karena jihad menjemput karuniaNya. Dan sebelum itu ada ikhtiar. Jika cinta pada yang Maha Agung adalah buah ikhtiar, mengapa kita tak mengupayakan cinta pada dia yang dihalalkan untuk kita dan justru terbelenggu oleh cinta yang tidak dihalalkanNya?

Fahri –dengan menentang All You Need is Love-nya John Lennon- telah berpesan kepada Nurul, “Dalam hidup ini cinta bukanlah segalanya.” Maka sesungguhnya sebagaimana Viktor E. Frankl menggariskan logoterapi, kehidupan adalah pencarian makna sejati. ‘Dengan siapa’ dan ‘kapan’ terkadang tidaklah penting. ‘Mengapa’ dan ‘bagaimana’ jauh lebih penting. "He who has a 'why’ to live for, can bear almost any ‘how’..”, kata Nietzsche, “Dia yang memiliki ‘mengapa’ untuk hidup, pasti bisa mengahadapi hamper semua ‘bagaimana’.
Nurul mungkin tak memilih. Tetapi dalam hidup selalu ada pilihan antara menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi. Yang pertama hanyalah kemungkinan, sedangkan yang kedua adalah kewajiban.

Ada dua pilihan ketika bertemu cinta
Jatuh cinta dan bangun cinta
Padamu, aku memilih yang kedua
Agar cinta kita menjadi istana, tinggi menggapai surga


Aisha dan Pernikahan Barakah

Kata – kata lembut yang kita bisikan pada pasangan kita,
Tersimpan di suatu tempat rahasia di surga.
Pada suatu hari, mereka akan berjatuhan bagaikan hujan, lalu tersebar
Dan misteri cinta akan tumbuh bersemi di segala penjuru bumi.
(Jalaluddin Ar Rumi)




Menenun Jalinan Cinta

Akan kuatkah kaki yang melangkah
Bila disapa duri yang menanti
Akan kaburkah mata yang memandang
Pada debu yang pasti kan hinggap

The Zikr: Suci Sekeping Hati



Harapan tanpa iman
Adalah kekecewaan yang menunggu waktu
Kebahagiaan tanpa barakah
Bagai bayang-bayang tanpa cahaya

Orang suci,
Menjaga kesuciannya dengan pernikahan
Menjaga pernikahannya dengan kesucian

Bukan Terminal Perhentian


Menikah adalah keindahan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tak bermakna. Menikah, dakwah, dan jihad adalah seiring sejalan, kecuali bagi orang-orang yg terkacaukan logika dan nalarnya. Menikah adalah bagian dari dua hal ini, kecuali bagi yang memandangnya sbg buah yg dipetik or rehat yg diambil setlah lama menjadi aktivis bujang.

Amat heran saya mendengar kata-kata yg dipakai sbg alas an untuk menunda pernikahan. “Akhi..”, dg penuh lembut seorang ikhwan pernah berkata, “Saya kira antum berbicara ttg pernikahan bkn dg org yg tepat. Saya ingin menikah, insya Allah nanti, stlah mengoptimalkan produktivitas dakwah saya. Ada banyak hal yg belum saya lakukan. Kontribusi da’wah saya masih terlalu kecil. Saya masih jauh dr kualifikasi pemuda yg digambarkan sbg jundi da’wah. Apa kita ngga malu, bahwa yg kita bicarakan pernikahan, pernikahan, dan pernikahan? Lihatlah pemuda-pemuda spt Usamah ibn Zaid yg menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush’ab ibn ‘Umair yg di usia duapuluhan menjadi duta untuk membuka da’wah di Madinah. Lihatlah Ali ibn Abi Thalib..”

Allahu Akbar! Secara pribadi, saya terkagum pada ghirah da’wah beliau yg setegar gunung dan sekukuh karang. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hanya saja, saya menganggap bahwa cara berfikir beliau ini berbahaya. Mungkin saya subjektif. Tetapi tersirat dlm kalimat beliau, seolah ada pertentangan antara produktivitas da’wah dg pernikahan. Sepertinya kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush’ab, ‘Ali. Sepertinya sesudah menikah, tidak termungkinkan untuk menjadi aktivis dg kemuliaan sbagaimana ketika kita blm menikah. Seolah-olah, puncak prestasi da’wah selalu kita raih sebelum kita menikah.

Dalam pengamatan saya, cara berfikir ini bermula dari persepsi bahwa ‘menikah dengan seorang akhwat yg shalihah adalah buah dari da’wah’. Pernikahan dipersepsikan sebagai salah satu terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tdk dianggap sbagai bagian dr da’wah. Pernikahan tdk dianggap sbg episode tempat dua org saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan ‘berprestasi’ dlm da’wah.. seakan pernikahan adalah episode baru yang –kasarnya- menjadi tujuan dari da’wahnya slama ini. Sekali berarti sudah itu mati, kata Chairil Anwar.

Syukurlah argument yg beliau bangun skaligus menolak cara berfikir beliau. Kok bisa? Iya. Beliau, -‘afwan, saya jadi sok tahu- kurang lengkap mengutip sirah shahabat. Sefaham kita, sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah ibn Zaid tlah menikah dg Fathimah binti Qais di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke Madinah, Mush’ab ibn ‘Umair Al-khair telah menikah dg Hamnah binti Jahsy. Dan sebelum mengambil peran-peran besar di sisi Rasulullah, ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallaahu ‘Anhu telah menjadi menantu beliau. Mereka tlah berjibaku memimpin keluarga, sebelum sukses memimpin da’wah.

Nah, mari kita bersedih ketika pernikahan memutus keterlibatan saudara-saudara kita dr da’wah. Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan. Mari menitikkan air mata jika dg menikah orang terhalang untuk menjadi Usamah, Mush’ab, dan ‘Ali. Mari kita menangis di hadapan Allah jika pernikahan telah melenakan manusia dr tugas agung untuk berda’wah dan berjihad di jalanNya. Jika demikian, dimanakah barakah yg sdh seharusnya kita raih?

‘Ala kulli haal, segalanya bermula dr bagaimana cara kita mempersepsikan pernikahan. Pernikahan disebut sbagai separuh agama, karena ianya adalah masalah ‘aqidah. Masalah bagaimana kita berpersepsi terhadap Allah, diri kita, dan pernikahan itu sendiri. Dan pernikahan juga disebut separuh agama, karena tanpa istri di sisi, banyak perintah Allah di dalam Al-qur’an blm akan terasa maknanya.

Semoga pemahaman ini menjadi awal dr bertambahnya barakah dlm pernikahan kita, terutama dlm sisi produktivitas amal dan jihad dijalanNya. Sungguh pernikahan adalah bagian dr dua hal ini, maka jgn pernah memandangnya sbg buah yg akan kita petik dan rehat yg akan kita lakukan atas da’wah kita selama ini. Rehatlah nanti, ketika kaki kita melangkah dan memijak ke surga Allah.

Salim A. Fillah dalam buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”



Minggu, 17 Februari 2008

Laki-laki dan Perempuan Itu Berbeda

Oleh: Muhammad Idham


Suatu ketika saudara-saudara saya mengajak kami sekeluarga berekreasi di Kids Fun. Mereka mengajak bermain Gokart. Saya satu mobil dg adik perempuan saya yg manis. Di sebelah gokart saya ada seorang pemuda berbadan besar yg selalu mengamati saya. Memang saya mengalahkannya di putaran pertama ketika memakai tempat duduk tunggal. Di putaran kedua ini, kelihatannya dia ingin membalas dendam. Dia duduk bersama temannya yg cukup besar. Saya hanya tersenyum, paling tidak berat badan kami jauh lebih ringan.

Lomba dimulai. Kami berdua mengenakan seragam balap yg disediakan oleh pengelola, yg kita sendiri tdk mengerti kenapa kami harus memakainya. Begitu bendera berkibar, saya injak pedal gas sekeras-kerasnya, dan melesatlah gokart kami bersama ketujuh gokart yg lain.
Pesaing saya ternyata tdk main-main. Gaya ngebutnya di sirkuit menjadi sangat ganas. Seketika saya berpikir, begitulah kaum laki-laki ketika gengsinya dipertaruhkan. Saya pun tidak mau kalah. Di sebelah saya ada adik tersayang. "Masa kakaknya yg gagah ini di kalahkan di depan matanya?" pikir saya. Pedal gas kami pun menjadi korban, harus diinjak dg kekuatan penuh. Mesin gokart kami menjerit keras dan mengejar gokart depan. Sorak sorai supporter kami sempat terdengar di balik helm pinjaman ini.
Tiba-tiba, di sebuah tikungan, gokart di depan kami memotong jalan secara tajam. Saya terkejut. Menginjak rem atau menghindar? Kalau menginjak rem kami akan tertinggal. Saya memutuskan untuk menghindar tanpa menginjak rem. Terjadilah sesuatu yg membuat kami tahu kegunaan dr seragam ini. Gokart kami keluar dr lintasan. Seandainya kami tdk memakai seragam balap itu, tentu baju kami sudah berubah warna karena terpaan tanah dan pasir dari luar lintasan. Saya merasa sangat marah. Tindakan memotong jalur seperti itu sungguh berbahaya. Saya lupa bahwa sayalah yg mengambil keputusan untuk tdk menginjak rem.
Tanpa pikir panjang, saya menginjak pedal gas saya dalam2. Beruntung gokart ini masih mau bergerak. Setelah kembali ke lintasan, saya tidak ragu lagi menginjak habis pedal gas. Kalau mereka mengira hanya karena memotong jalan itu akan membuat kami ketakutan dan berhenti, mereka salah besar!. Tidak mengendorkan pijakan pedal gas yg terinjak habis, mungkin merupakan tindakan tidak bijaksana. Tetapi dimanapun, balap merupakan lomba yg tidak bijaksana. Hasilnya tidak buruk, paling tidak kami sudah tidak berada di posisi juru kunci akibat mannuver nekat di tikungan.

Tikungan demi tikungan berhasil kami lewati. Saudara-saudara dan beberapa penonton sudah mulai berdiri dr tempat duduknya. Si tinggi besar sekarang sudah berada di depan hidung gokart kami. Di putaran terakhir jika tidak berhasil mendahuluinya, kami akan kalah, dan saya sungguh tidak suka. Pedal gas yg mulai kendor itu saya injak lagi dg keras. Mesin gokart menderu dg keras, dan mulailah manuver berbahaya itu. Ban gokart kami mengeluarkan suara gesekan yg amat keras. Terasa badan kendaraan ini mulai bergeser tidak terkendali. Sekilas, dr sudut mata saya masih melihat si pengemudi di depan gokart saya terkejut melihat ada musuh di belakangnya mencoba melewatinya di tikungan dg kecepatan gila-gilaan. Tiga menit kemudian kami melewati garis finish di urutan kelima.
Ya, kami berhasil mengalahkan pesaing kami. Semuanya terlihat begitu indah dan memuaskan bagi saya. Namun, semua berubah ketika saya menengok kepada adik saya. Harapan mendengarkan pujian atau kebanggaan dr keasyikan yg kita alami itu lenyap seketika. Wajah adik saya pucat pasi!.
Saya baru sadar. "Adikku, Maafkan Abangmu ini!"
Ternyata, kami berbeda. Apa yg dirasakan laki-laki sebagai sesuatu yg hebat, ternyata berbeda dg yg dirasakan perempuan. Ibu saya pun menyatakan ketidaksukaannya terhadap tindakan saya. Saya merasa bersalah, saya pun tidak menyalahkan mereka kalau mereka bakal tak mau lagi naik mobil dengan sopir seperti saya.
Saya ingat apa yg disampaikan John Gray. Perempuan membutuhkan perhatian, dan laki-laki membutuhkan kepercayaan. Perempuan membutuhkan pengertian, laki-laki membutuhkan penerimaan. Perempuan membutuhkan rasa hormat, laki-laki membutuhkan penghargaan. Perempuan membutuhkan kesetiaan, laki-laki membutuhkan kekaguman. Perempuan membutuhkan penegasan, laki-laki membutuhkan persetujuan. Perempuan perlu jaminan, dan laki-laki perlu dorongan.
Saya tdk yakin apakah pendapat John Gray benar semuanya. Tapi, harus saya akui bahwa --paling tidak-- ada sebuah kesimpulan yg dapat saya ambil, kita berbeda. Itulah yg membuat laki-laki sering tdk paham dg perempuan karena kita memahami perempuan dg pemahaman jenis mereka.
Jadi, untuk mulai memahami perempuan, kita harus mulai dg mengenal akar-akar perbedaan laki-laki dan perempuan. Di lingkungan kita, sering terjadi kesalahan dlm memahami perbedaan versi Islam. Perbedaan sering disalahartikan dengan perbedaan kemuliaan --biasanya dg mengatakan laki-laki lebih mulia daripada perempuan. Banyak pula yg sembrono mengatakan bahwa Islam itu bukan agama kaum perempuan.
Sebagai Muslim, saya heran sekaligus jengkel mendengar selentingan-selentingan bahwa Islam itu merendahkan derajat dan selalu merugikan perempuan. Mungkin perlu dikatakan di dekat telinga mereka bahwa Islam lahir di tengah masyarakat yg punya hobi mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Agama Islam yg pertama kali tampil membela bayi-bayi perempuan itu. Islam mengatur bahwa laki-lakilah yg wajib mencari nafkah dan memberi mahar nikah, bukan sebaliknya. Islam mengatur bahwa bagian warisan laki-laki dipergunakan untuk memberi nafkah, sedangkan bagian perempuan untuk dirinya sendiri. Lalu, bagian mana dari Islam yg merugikan perempuan?

Izinkan saya mengutarakan nasihat Imam syahid Hasan alBana, "Pada saat kaum perempuan dikategorikan sebagai komoditi yg diperjualbelikan, Islam datang untuk memuliakan dan mengangkat harkat martabat mereka, memelihara hak-hak dan kehormatannya. Islam membolehkan berjual beli, sewa-menyewa, bersedekah, dan berbuat selayaknya bagaimana org yg merdeka. Demikian keadilan terhadap kaum perempuan diberikan oleh Islam. Siapa yg mengatakan bahwa Islam merendahkan harkat kaum perempuan, tentulah ia orang yg tidak mengerti apa-apa tentang Islam".

Bagaimana bisa dikatakan Islam merendahkan kaum perempuan, sedangkan Allah SWT berfirman, "...Dan kaum perempuan itu memiliki hak yg seimbang dg kewajibannya menurut cara yg ma'ruf.." [QS. Al-Baqarah:228]

Kadang saya mulai berpikir agak nakal, bukankah laki-laki yg seharusnya merasa dirugikan? Lewajiban berbakti kepada Ibu [Perempuan] disebutkan tiga kali, baru setelah itu Bapak. Surga ada di telapak kaki Ibu, sedangkan di telapak kaki laki-laki tidak ditemukan apa-apa. Dalam Al-quran ada surah An-Nisaa (perempuan) dan tidak ditemukan satu pun surah Ar-Rijaal (laki-laki).
Tentu saja pikiran nakal ini lahir dr kebodohan saya semata. Sebagai muslim, saya selalu memegang sebuah prinsip bahwa jika ada sesuatu dalam ajaran Islam yg kita lihat tidak adil, tidak bijaksana, ataupun tidak baik, bukan ajarannya yg jadi masalah, melainkan kita sendiri yg kurang paham atau kurang pengetahuan tentangnya. Dari sini, saya mulai tertarik untuk belajar tentang perempuan, terutama tentang akar-akar perbedaan laki-laki dan perempuan.


"Karena Engkau Perempuan"

Rabu, 13 Februari 2008

Perkenankanlah Aku MencintaiMu Semampuku..

Rabbi..

Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintaiMu
Lembar demi lembar kitab kupelajari
Untai demi untai kata para Ustadz kuresapi
Tentang cinta para nabi
Tentang kasih para sahabat
Tentang mahabah para sufi
Tentang kerinduan para syuhada
Lalu kutanam dalam jiwa dalam-dalam
Kutumbuhkan dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang mengawang di awan

Tapi Rabbi,
Berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, dan kemudian tahun berlalu
Aku berusaha mencintaiMu dengan cinta yang paling utama, namun
Aku masih juga tak menemukan cinta tertinggi untukMu
Aku makin merasakan gelisahku membadai
Dalam cita yang mengawang
Sedang kakiku mengambang, tiada menjejak bumi
Hingga aku terhempas dalam jurang dan kegelapan

Wahai Ilahi,
Kemudian berbilang detik, menit, jam, hari, pekan bulan, dan tahun berlalu
Aku mencoba merangkak, menggapai permukaan bumi dan menegakan jiwaku kembali
Menatap, memohon, dan menghibaMU
Allahu Rahim, Ilahi Rabbi
Perkenankanlah Aku mencintaiMu
semampuku
Allahu Rahman, Ilahi Rabbi
Perkenankanlah aku mencintaiMu
sebisaku

Ilahi,
Aku tak sanggup mencintaiMu
Dengan kesabaran menanggung derita
Umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa, hingga Al-Musthafa
Karena itu izinkan aku mencintaiMu
Melalui keluh kesah pengaduanku padaMu
Atas derita batin dan jasadku
Atas sakit dan ketakutanku

Rabbi,
Aku tak sanggup mencintaiMu seperti abu Bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan diriMu dan rasulMu bagi pribadi dan keluarga
Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad
Atau Utsman yang menyerahkan seribu ekor kuda untuk syiarkan dinMu
Maka Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku,
Melalui seribu dua ribu perak yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan
Pada wanita-wanita tua yang menengadahkan tangan di pojok jembatan
Pada makanan-makanan sederhana yg terkirim kepada handai taulan

Ilahi,
Aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang sahabat RasulMu, hingga tak hirau dia pada anak panah musuh yg terhunjam dikakinya
Karena itu ya Allah, perkenankanlah aku tertatih menggapai cintaMu
dalam shalat yg coba kudirikan terbata-bata,
meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia

Rabbi,
Aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib,
yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu
maka izinkanlah aku untuk mencintaiMu dalam satu dua rakaat lailku
Dalam satu dua sunnah nafilahMu
Dalam desah nafas kepasrahan tidurku

Yaa, Maha Rahman,
Aku tak sanggup mencintaiMu bagai para al hafidz dan hafidzah
Yang menuntaskan kalamMu dalam satu putaran malam
Maka perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku,
melalui beberapa lembar tilawah harianku
Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku

Yaa Rahim
Aku tak sanggup mencintaiMu semisal Sumayyah,
yang mempersembahkan jiwanya demi tegaknya dienMu
Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihad bagiMu
Maka perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku
dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu
Maka izinkanlah aku mencintaiMu semampuku
dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru

Allahu Karim
Aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya,
bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan istrinya,
dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya,
Maka izinkanlah aku mencintaiMu di dalam segala
Perkenankanlah aku mencintaiMu dengan mencintai keluargaku,
dengan mencintai sahabat-sahabatku,
dengan mencintai manusia dan alam semesta.

allahu Rahmaanurrahiim, Ilahi Rabbi,
Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku
Agar cinta itu mengalun dalam jiwaku
Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku


Tertatih dalam bilangan tahun meniti cinta

Minggu, 10 Februari 2008

Bercermin Pada Orang Lain..

"Selalu ada hidup yang lain,
meski tiada kau sadari.
tiada muncul,
tiada kau lihat,
tak ingin pula kau akui."
(Eliza Fitri Handayani-Area X)


Selalu ada saat dimana perasaan saya sedemikian sesak. Selalu ada masa dimana saya tak mampu berpikir lagi mengenai permasalahan yang saya hadapi. Selalu ada masa ketika saya merasa amat menderita dan butuh teman yang menguatkan saya. Pada saat-saat seperti itu saya berusaha untuk tidak menyendiri meskipun sangat ingin.

Jika saat-saat itu datang, biasanya saya menghubungi salah satu dari beberapa teman dekat untuk bertemu atau sekedar say hello via sms, telp, e-mail, atau messenger/chat. Barangkali ngobrol atau makan dan sekedar jalan-jalan akan memberikan keringanan perasaan buat saya.

Tapi, ketika akhirnya bertemu, sangat sering saya tidak jadi 'curhat' ataupun menceritakan permasalahan saya itu. Yang terjadi kemudian adalah lebih banyak saya yang menjadi pendengar tentang "hidup" mereka dalam beberapa waktu terakhir. Kalopun ngga tentang hidup mereka, saya ngobrol/sharing tentang aktivitas sehari-hari serta hidup secara umum dan penyikapannya.

Berhadapan dengan mereka, sering membuat saya kehabisan kata-kata. Bersama mereka sering membuat saya merasa demikian kecil. Saya bukan apa-apa sama sekali. Bahkan saat bersama mereka, saya merasa tidak perlu lagi menceritakan permasalahan saya. Apa yG saya alami, apa yG saya hadapi, apa yG saya lewati hanyalah sebuah hal remeh temeh yG ngga ada artinya. Hal itu dG sendirinya menyembuhkan rasa penderitaan dan kepedihan yG saya alami.

Mendengarkan kisah hidup mereka, mengetahui permasalahan mereka, dan bagaimana mereka mengatasi hari-hari berat itu, atau bahkan mendengar pemikiran mereka tentang sesuatu, memberikan pelajaran bagi saya tentang kehidupan. Dari mereka, saya mengerti tentang lika liku dunia yang tidak selalu berjalan sesuai harapan. Dari mereka, saya tau bahwa begitu banyak hidup yg lain. Meski tidak saya sadari, bahkan tidak pula saya mengerti sebelumnya.

Mereka, satu diantaranya, adalah seorang gadis 24 tahun, teman SD saya yg dr kecil udah harus berjuang membiayai hidupnya sendiri. Dia sempat jadi baby sitter supaya bisa sekolah dan kini menjadi tulang punggung keluarganya: adik, orangtuanya, bahkan sang kakak yg udah berumah tangga. Dia sering merasa letih menanggung semuanya, apalagi tanpa penghargaan semestinya dr orang2 yg ia perjuangkan. Tapi, meskipun dihadapkan pada saat-saat demikian, Ia masih sanggup berkata "Aku harus kuat. Aku ga boleh stress seberat apapun permasalahan yg aku hadapi. Aku ga boleh sakit meskipun makan hati.. demi orang tuaku, demi adikku, demi kakak&keponakanku, demi hidup dan masa depanku sendiri."

Satu dr mereka adalah seorang gadis berusia 25 tahun yg selalu menjadi "tempat sampah" bagi saudara-saudara kandungnya. Dia yg pernah berkata kpd saya dg kepedihan yg amat mendalam "Aku bungsu dr 6 bersaudara, tapi mengapa aku harus menjadi si sulung yg harus bertanggung jawab atas kekacauan-kekacauan yg terjadi dlm hdp mereka?". Meski begitu toh dia tetep mengambil smua tanggung jawab itu dg gagah perkasa.

Satu dr mereka adalah seorang pemuda yg dengannya saya belajar banyak hal. Melalui obrolan atau pun membaca karakter pribadinya, saya justru belajar banyak tentang idealisme, berpikir kritis-analitis, dan berpikir cepat serta harus bisa menyeimbangkan perasaan dg logika. Yg kadang suka mengingatkan saya akan hal-hal yg tampaknya sesuatu yg kecil tp besar manfaatnya, yg mengajarkan bersikap baik pd smua org siapapun orgnya. Kemampuannya menyembunyikan persoalan pribadi, dan kedewasaannya berpikir membuat saya banyak belajar padanya.

Satu dr mereka adalah... Oh, masih banyak lagi yg lain, teman baik yg menjadi cermin hidup saya. Sungguh, saya merasa sangat bersyukur, Allah mempertemukan saya dg mereka, bahkan menjadi salah satu teman dekat mereka, sahabat mereka, Insya Allah. Orang2 yg pd mereka saya bercermin dan belajar.. tentang kesungguhan, tentang kesabaran, tentang ketangguhan, tentang empati, tentang penyikapan hidup, tentang semuanya hingga saya mengerti, dg cermin mereka saya dapat menyelesaikan dan menyikapi permasalahan hidup tanpa harus selalu "curhat" dan meminta nasihat karna dari cerita mereka pun saya banyak mengambil pelajaran mengenai kehidupan..

To be continue..

Diadaptasi dr tulisan Azimah Rahayu.. "Hari Ini Aku Makin Cantik.."

Inilah Saatku...!!!

Inilah saat di mana:
aku melihat dunia tak lagi bulat,
melainkan lonjong, oval, persegi, bujur sangkar, kerucut, silinder,
bundar, segitiga
karena aku telah berjalan
menyusuri tepi-tepinya

aku melihat awan tak lagi biru
melainkan putih, abu-abu, merah, jingga, nila, ungu
karena aku telah terbang
melintasi sekat-sekatnya

aku melihat wajah tak lagi berwarna cokelat
melainkan putih, merah, kuning, hitam
karena aku telah menyelam
ke dalam samudera jiwa yang bernyawa

Inilah saat di mana:
aku merubah diriku sendiri;
cara pandangku
cara berpikirku
cara berbicaraku
cara bertingkah lakuku

Karena, inilah saat di mana:
aku menjadi dewasa..