Selasa, 26 Februari 2008

Menenun Jalinan Cinta

Akan kuatkah kaki yang melangkah
Bila disapa duri yang menanti
Akan kaburkah mata yang memandang
Pada debu yang pasti kan hinggap

The Zikr: Suci Sekeping Hati



Harapan tanpa iman
Adalah kekecewaan yang menunggu waktu
Kebahagiaan tanpa barakah
Bagai bayang-bayang tanpa cahaya

Orang suci,
Menjaga kesuciannya dengan pernikahan
Menjaga pernikahannya dengan kesucian

Bukan Terminal Perhentian


Menikah adalah keindahan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tak bermakna. Menikah, dakwah, dan jihad adalah seiring sejalan, kecuali bagi orang-orang yg terkacaukan logika dan nalarnya. Menikah adalah bagian dari dua hal ini, kecuali bagi yang memandangnya sbg buah yg dipetik or rehat yg diambil setlah lama menjadi aktivis bujang.

Amat heran saya mendengar kata-kata yg dipakai sbg alas an untuk menunda pernikahan. “Akhi..”, dg penuh lembut seorang ikhwan pernah berkata, “Saya kira antum berbicara ttg pernikahan bkn dg org yg tepat. Saya ingin menikah, insya Allah nanti, stlah mengoptimalkan produktivitas dakwah saya. Ada banyak hal yg belum saya lakukan. Kontribusi da’wah saya masih terlalu kecil. Saya masih jauh dr kualifikasi pemuda yg digambarkan sbg jundi da’wah. Apa kita ngga malu, bahwa yg kita bicarakan pernikahan, pernikahan, dan pernikahan? Lihatlah pemuda-pemuda spt Usamah ibn Zaid yg menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush’ab ibn ‘Umair yg di usia duapuluhan menjadi duta untuk membuka da’wah di Madinah. Lihatlah Ali ibn Abi Thalib..”

Allahu Akbar! Secara pribadi, saya terkagum pada ghirah da’wah beliau yg setegar gunung dan sekukuh karang. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hanya saja, saya menganggap bahwa cara berfikir beliau ini berbahaya. Mungkin saya subjektif. Tetapi tersirat dlm kalimat beliau, seolah ada pertentangan antara produktivitas da’wah dg pernikahan. Sepertinya kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush’ab, ‘Ali. Sepertinya sesudah menikah, tidak termungkinkan untuk menjadi aktivis dg kemuliaan sbagaimana ketika kita blm menikah. Seolah-olah, puncak prestasi da’wah selalu kita raih sebelum kita menikah.

Dalam pengamatan saya, cara berfikir ini bermula dari persepsi bahwa ‘menikah dengan seorang akhwat yg shalihah adalah buah dari da’wah’. Pernikahan dipersepsikan sebagai salah satu terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tdk dianggap sbagai bagian dr da’wah. Pernikahan tdk dianggap sbg episode tempat dua org saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan ‘berprestasi’ dlm da’wah.. seakan pernikahan adalah episode baru yang –kasarnya- menjadi tujuan dari da’wahnya slama ini. Sekali berarti sudah itu mati, kata Chairil Anwar.

Syukurlah argument yg beliau bangun skaligus menolak cara berfikir beliau. Kok bisa? Iya. Beliau, -‘afwan, saya jadi sok tahu- kurang lengkap mengutip sirah shahabat. Sefaham kita, sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah ibn Zaid tlah menikah dg Fathimah binti Qais di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke Madinah, Mush’ab ibn ‘Umair Al-khair telah menikah dg Hamnah binti Jahsy. Dan sebelum mengambil peran-peran besar di sisi Rasulullah, ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallaahu ‘Anhu telah menjadi menantu beliau. Mereka tlah berjibaku memimpin keluarga, sebelum sukses memimpin da’wah.

Nah, mari kita bersedih ketika pernikahan memutus keterlibatan saudara-saudara kita dr da’wah. Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan. Mari menitikkan air mata jika dg menikah orang terhalang untuk menjadi Usamah, Mush’ab, dan ‘Ali. Mari kita menangis di hadapan Allah jika pernikahan telah melenakan manusia dr tugas agung untuk berda’wah dan berjihad di jalanNya. Jika demikian, dimanakah barakah yg sdh seharusnya kita raih?

‘Ala kulli haal, segalanya bermula dr bagaimana cara kita mempersepsikan pernikahan. Pernikahan disebut sbagai separuh agama, karena ianya adalah masalah ‘aqidah. Masalah bagaimana kita berpersepsi terhadap Allah, diri kita, dan pernikahan itu sendiri. Dan pernikahan juga disebut separuh agama, karena tanpa istri di sisi, banyak perintah Allah di dalam Al-qur’an blm akan terasa maknanya.

Semoga pemahaman ini menjadi awal dr bertambahnya barakah dlm pernikahan kita, terutama dlm sisi produktivitas amal dan jihad dijalanNya. Sungguh pernikahan adalah bagian dr dua hal ini, maka jgn pernah memandangnya sbg buah yg akan kita petik dan rehat yg akan kita lakukan atas da’wah kita selama ini. Rehatlah nanti, ketika kaki kita melangkah dan memijak ke surga Allah.

Salim A. Fillah dalam buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”



Tidak ada komentar: