Minggu, 17 Februari 2008

Laki-laki dan Perempuan Itu Berbeda

Oleh: Muhammad Idham


Suatu ketika saudara-saudara saya mengajak kami sekeluarga berekreasi di Kids Fun. Mereka mengajak bermain Gokart. Saya satu mobil dg adik perempuan saya yg manis. Di sebelah gokart saya ada seorang pemuda berbadan besar yg selalu mengamati saya. Memang saya mengalahkannya di putaran pertama ketika memakai tempat duduk tunggal. Di putaran kedua ini, kelihatannya dia ingin membalas dendam. Dia duduk bersama temannya yg cukup besar. Saya hanya tersenyum, paling tidak berat badan kami jauh lebih ringan.

Lomba dimulai. Kami berdua mengenakan seragam balap yg disediakan oleh pengelola, yg kita sendiri tdk mengerti kenapa kami harus memakainya. Begitu bendera berkibar, saya injak pedal gas sekeras-kerasnya, dan melesatlah gokart kami bersama ketujuh gokart yg lain.
Pesaing saya ternyata tdk main-main. Gaya ngebutnya di sirkuit menjadi sangat ganas. Seketika saya berpikir, begitulah kaum laki-laki ketika gengsinya dipertaruhkan. Saya pun tidak mau kalah. Di sebelah saya ada adik tersayang. "Masa kakaknya yg gagah ini di kalahkan di depan matanya?" pikir saya. Pedal gas kami pun menjadi korban, harus diinjak dg kekuatan penuh. Mesin gokart kami menjerit keras dan mengejar gokart depan. Sorak sorai supporter kami sempat terdengar di balik helm pinjaman ini.
Tiba-tiba, di sebuah tikungan, gokart di depan kami memotong jalan secara tajam. Saya terkejut. Menginjak rem atau menghindar? Kalau menginjak rem kami akan tertinggal. Saya memutuskan untuk menghindar tanpa menginjak rem. Terjadilah sesuatu yg membuat kami tahu kegunaan dr seragam ini. Gokart kami keluar dr lintasan. Seandainya kami tdk memakai seragam balap itu, tentu baju kami sudah berubah warna karena terpaan tanah dan pasir dari luar lintasan. Saya merasa sangat marah. Tindakan memotong jalur seperti itu sungguh berbahaya. Saya lupa bahwa sayalah yg mengambil keputusan untuk tdk menginjak rem.
Tanpa pikir panjang, saya menginjak pedal gas saya dalam2. Beruntung gokart ini masih mau bergerak. Setelah kembali ke lintasan, saya tidak ragu lagi menginjak habis pedal gas. Kalau mereka mengira hanya karena memotong jalan itu akan membuat kami ketakutan dan berhenti, mereka salah besar!. Tidak mengendorkan pijakan pedal gas yg terinjak habis, mungkin merupakan tindakan tidak bijaksana. Tetapi dimanapun, balap merupakan lomba yg tidak bijaksana. Hasilnya tidak buruk, paling tidak kami sudah tidak berada di posisi juru kunci akibat mannuver nekat di tikungan.

Tikungan demi tikungan berhasil kami lewati. Saudara-saudara dan beberapa penonton sudah mulai berdiri dr tempat duduknya. Si tinggi besar sekarang sudah berada di depan hidung gokart kami. Di putaran terakhir jika tidak berhasil mendahuluinya, kami akan kalah, dan saya sungguh tidak suka. Pedal gas yg mulai kendor itu saya injak lagi dg keras. Mesin gokart menderu dg keras, dan mulailah manuver berbahaya itu. Ban gokart kami mengeluarkan suara gesekan yg amat keras. Terasa badan kendaraan ini mulai bergeser tidak terkendali. Sekilas, dr sudut mata saya masih melihat si pengemudi di depan gokart saya terkejut melihat ada musuh di belakangnya mencoba melewatinya di tikungan dg kecepatan gila-gilaan. Tiga menit kemudian kami melewati garis finish di urutan kelima.
Ya, kami berhasil mengalahkan pesaing kami. Semuanya terlihat begitu indah dan memuaskan bagi saya. Namun, semua berubah ketika saya menengok kepada adik saya. Harapan mendengarkan pujian atau kebanggaan dr keasyikan yg kita alami itu lenyap seketika. Wajah adik saya pucat pasi!.
Saya baru sadar. "Adikku, Maafkan Abangmu ini!"
Ternyata, kami berbeda. Apa yg dirasakan laki-laki sebagai sesuatu yg hebat, ternyata berbeda dg yg dirasakan perempuan. Ibu saya pun menyatakan ketidaksukaannya terhadap tindakan saya. Saya merasa bersalah, saya pun tidak menyalahkan mereka kalau mereka bakal tak mau lagi naik mobil dengan sopir seperti saya.
Saya ingat apa yg disampaikan John Gray. Perempuan membutuhkan perhatian, dan laki-laki membutuhkan kepercayaan. Perempuan membutuhkan pengertian, laki-laki membutuhkan penerimaan. Perempuan membutuhkan rasa hormat, laki-laki membutuhkan penghargaan. Perempuan membutuhkan kesetiaan, laki-laki membutuhkan kekaguman. Perempuan membutuhkan penegasan, laki-laki membutuhkan persetujuan. Perempuan perlu jaminan, dan laki-laki perlu dorongan.
Saya tdk yakin apakah pendapat John Gray benar semuanya. Tapi, harus saya akui bahwa --paling tidak-- ada sebuah kesimpulan yg dapat saya ambil, kita berbeda. Itulah yg membuat laki-laki sering tdk paham dg perempuan karena kita memahami perempuan dg pemahaman jenis mereka.
Jadi, untuk mulai memahami perempuan, kita harus mulai dg mengenal akar-akar perbedaan laki-laki dan perempuan. Di lingkungan kita, sering terjadi kesalahan dlm memahami perbedaan versi Islam. Perbedaan sering disalahartikan dengan perbedaan kemuliaan --biasanya dg mengatakan laki-laki lebih mulia daripada perempuan. Banyak pula yg sembrono mengatakan bahwa Islam itu bukan agama kaum perempuan.
Sebagai Muslim, saya heran sekaligus jengkel mendengar selentingan-selentingan bahwa Islam itu merendahkan derajat dan selalu merugikan perempuan. Mungkin perlu dikatakan di dekat telinga mereka bahwa Islam lahir di tengah masyarakat yg punya hobi mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Agama Islam yg pertama kali tampil membela bayi-bayi perempuan itu. Islam mengatur bahwa laki-lakilah yg wajib mencari nafkah dan memberi mahar nikah, bukan sebaliknya. Islam mengatur bahwa bagian warisan laki-laki dipergunakan untuk memberi nafkah, sedangkan bagian perempuan untuk dirinya sendiri. Lalu, bagian mana dari Islam yg merugikan perempuan?

Izinkan saya mengutarakan nasihat Imam syahid Hasan alBana, "Pada saat kaum perempuan dikategorikan sebagai komoditi yg diperjualbelikan, Islam datang untuk memuliakan dan mengangkat harkat martabat mereka, memelihara hak-hak dan kehormatannya. Islam membolehkan berjual beli, sewa-menyewa, bersedekah, dan berbuat selayaknya bagaimana org yg merdeka. Demikian keadilan terhadap kaum perempuan diberikan oleh Islam. Siapa yg mengatakan bahwa Islam merendahkan harkat kaum perempuan, tentulah ia orang yg tidak mengerti apa-apa tentang Islam".

Bagaimana bisa dikatakan Islam merendahkan kaum perempuan, sedangkan Allah SWT berfirman, "...Dan kaum perempuan itu memiliki hak yg seimbang dg kewajibannya menurut cara yg ma'ruf.." [QS. Al-Baqarah:228]

Kadang saya mulai berpikir agak nakal, bukankah laki-laki yg seharusnya merasa dirugikan? Lewajiban berbakti kepada Ibu [Perempuan] disebutkan tiga kali, baru setelah itu Bapak. Surga ada di telapak kaki Ibu, sedangkan di telapak kaki laki-laki tidak ditemukan apa-apa. Dalam Al-quran ada surah An-Nisaa (perempuan) dan tidak ditemukan satu pun surah Ar-Rijaal (laki-laki).
Tentu saja pikiran nakal ini lahir dr kebodohan saya semata. Sebagai muslim, saya selalu memegang sebuah prinsip bahwa jika ada sesuatu dalam ajaran Islam yg kita lihat tidak adil, tidak bijaksana, ataupun tidak baik, bukan ajarannya yg jadi masalah, melainkan kita sendiri yg kurang paham atau kurang pengetahuan tentangnya. Dari sini, saya mulai tertarik untuk belajar tentang perempuan, terutama tentang akar-akar perbedaan laki-laki dan perempuan.


"Karena Engkau Perempuan"

Tidak ada komentar: