…Namun kau hidup mengaliri
Pori – pori cinta dan semangatku
Sebab
Kau adalah hadiah agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku…!
Dari ayat-ayat cinta yang memendarkan berjuta cahaya itu, sayapun memilih salah satu berkasnya. Berkas yang bicara tentang wanita. Dari merekalah kita berbicara tentang kesejatian, kejujuran perasaan, dan ungkapan penuh kelembutan. Leo Tolstoy mengungkapkan hal ini dalam cerpen berjudul Ilyas. “Jika aku berkata kepadamu tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, kalian mungkin takkan percaya. Lebih baik bertanyalah pada isteriku. Ia adalah seorang perempuan, apa yang ada dihatinya itu pulalah yang akan keluar dari lidahnya. Ia akan berkata jujur.”
Kita bahas satu persatu ya.. dan saya ingin memulai dengan Noura.
Noura dan Cinta Posesifnya
Awal-awal, mari kita dengar sendiri Noura mengisahkan hidupnya. “Malam itu”, kata Noura, “Aku mengira, aku akan menjadi gelandangan dan tidak memiliki siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka. Dan menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan derita.”
Noura, seorang wanita dengan kerentanan perasaannya setelah kezhaliman-kezhaliman yang dialaminya tentu merasakan suatu getaran khusus, getaran yg sangat istimewa ketika seorang pemuda memberikan perhatian kepadanya. Mungkin, si pemuda menganggap bahwa hal ini memang sudah selayaknya. Tapi karena orang lain tak pernah melakukannya, yg seharusnya itu menjadi sangat istimewa. Maka ia bertutur, “Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tidak memiliki siapa-siapa selain Allah di dalam dada, kaulah orang yg pertama datang dan memberikan rasa simpati dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air mata untukku, ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku."
Inilah hati seorang wanita yg telah tersentuh rasa, maka ia ingin memberikan segalanya. “Dalam hatiku, keinginanku saat ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yg tiada terkira dalamnya terhunjam dalam dada, aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yg bisa kau seka airmatanya, kau belai rambutnya, dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu.”
Tak banyak kisah tentang Nioura yg kita ketahui selanjutnya. Saya pun takkan mengada-ada dalam tebakan. Yang jelas, kisah ini berujung pada pengadilan yang menuduhkan perkosaan atas Noura kepada Fahri. Posisi perasaan seperti apa yg dialami Noura sehingga ia tega mengubah cintanya yg begitu dalam kepada Fahri menjadi sebuah fitnah yg keji?
Saya mencoba mencari-cari dalam karya sastra lain. Ternyata Victor Hugo menggambarkan hal yg mirip dalam Les Miserables, “Di setiap jalan yg terbuka baginya hanya ada kejatuhan. Takdir memiliki titik tertentu yg sangat terjal di atas kemustahilan, dan dibawahnya kehidupan tak lain hanyalah sebuah jurang. Javert, berada di salah satu titik tertinggi ini.”
Begitulah..kadang-kadang ada titik tersulit dalam hidup kita, ada noktah terpahit di lidah kita, dan ada ruang tersempit di dada untuk sekedar memilih. Dan Noura, dengan tekanan keluarganya, memilih untuk mengajak Fahri yg tak bersalah merasakan derita bersamanya atas nama cinta. Psikologi menyebutnya cinta posesif.
Noura yg seorang wanita Mesir, mengingatkan saya pada seorang wanita Mesir lain yg diabadikan Al-Quran. Ia, wanita yg tak disebut namanya oleh Al-Quran kecuali sebagai Imra’atul ‘Aziiz (Isterinya pejabat). Ia, wanita yg terpesona pada Yusuf seperti Noura terpesona pada Fahri. Tetapi Ia melangkah lebih jauh dengan menggoda Yusuf untuk berma’shiat. Dan ketika ajakan itu bertepuk sebelah jiwa, ia melontarkan tuduhan sebagaimana Noura.
“..Apakah pembalasan terhadap orang yg bermaksud buruk pada isterimu, selain dipenjarakan atau dihukum dengan ‘adzab yg pedih?”
(QS Yusuf : 26)
Fitnah! Apakah ini karakter wanita yg memiliki cinta posesif ketika ia terperosok dalam lubang yg tergali? Bukan, saya kira. Tetapi Al ‘Aziiz, suaminya, membuat sebuah konklusi yg diabadikan Al Quran . ketika berkata tentang tipu daya terhadap Yusuf, ia menggunakan kata ganti ‘kunna’ yg berarti kamu perempuan jamak, bukan ‘ki’ yg berarti kamu perempuan tunggal. Padahal jelas yg salah hanyalah isterinya. Mengapa? Sayapun belum menemukan jawabnya.
“..Sesungguhnya, ini termasuk tipu daya kalian! Sesungguhnya tipu daya kalian adalah besar!” (QS Yusuf : 29)
Inilah cinta, entah dalam versinya yg ke berapa. Cinta yg sangat posesif. Tuntutan kepemilikan yg sangat tinggi dan kecemburuan yg melahirkan tindakan yg fatal. Wah jadi psikologi banget, ‘Afwan..
Maria, Cinta Tulus dan Akhir Indah Sang Bidadari
“Dan entah kenapa”, kata Maria dalam Diari-nya, “Hatiku mulai condong kepadanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus yg menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu tiap pagi.”
Lagi – lagi wahai para lelaki, tampang Anda tak begitu berharga. Akhlaq Fahri yg luar biasa itulah yg telah menderapkan sejuta denyut cinta di hati Maria. Adakah kita dapati dalam riwayat Rasulullah memberi perhatian khusus dan care yg indah pada golongan wanita yang belum menikah? Tidak. Sama sekali. Karena setitik perhatian, senyum tulus, dan akhlaq yang baik tertuju pada hati seorang wanita, dampaknya sama seperti hunjaman wajah cantik ke retina mata dan imajinasi laki-laki. Laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki titik lemah dimana ujian akan datang.
Cinta Maria, adalah cinta yg menjadi rahasia terdalam sebuah hati. Ia tak tergesa mengungkapkannya. “Fahri”, tulisnya, “Aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu apa yg terjadi padaku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa dan tidak mau itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa bangga mencintai laki-laki yg kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti dirimu.”
Maria mengorbankan dirinya, hartanya, segalanya untuk cintanya pada Fahri. Ia nyaris menjadi budak cinta dan simpati ketika berkata, “Aku sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya.” Dan ketulusan cintanya, cinta yang memberi tanpa pamrih, cinta yg menyerahkan segalanya, diuji oleh perasaan manusiawinya ketika Fahri menikah dengan Aisha. “Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seseorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan menunggunya di surga.”
Sesungguhnya hidayah itu milik Allah, Dia berikan pada hambaNya mana saja yang dikehendakiNya. Maka dengan rahmatNya, Maria menjadi insane terpilih itu. Fithrahnya yang suci, kedekatannya dengan Al Quran, kecintaannya yang bersih pada Maryam dan Al Masih, simpatinya pada prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh Fahri, semua ini menuntunnya pada karunia agung Allah. Fahri pun, dalam motif keselamatan diri yang mendesak, telah memilih da’wah dan tanggung jawab sebagai muslim dalam melandaskan pernikahannya.
Cinta Maria berakhir manis. Pernikahan yang ia idamkan sekaligus surga yang ia damba., Allah kumpulkan untuknya dalam sehari. Kematian seorang pencinta, selalu menarik minat para sastrawan besar untuk melukiskannya.
Dialah sang bidadari! Dia penuh ketenangan berangkat ke alam yang indah. Ia berkata dengan bahasa cinta El Shirazy, “Aku masih mencium bau surga. Wanginya masuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya.”
Nurul dan Manajemen Cinta
Seperti bunga, cinta sejati takkan mampu menyembunyikan semerbak wanginya. Eksistensi cinta mengejawantah dalam kelembutan, kecerdasan, perbaikan diri, keshalihan, dan tentu saja keikhlasan. Tanpa keikhlasan yang digantungkan pada pemilik ‘Arsyi Maha Tinggi, ia akan mati. Ia mati, persis setangkai mawar yg di potong hanya untuk dipersembahkan pada kekasih disertai ucapan, “Be My Valentine!”. Cinta yang tercerabut dari tangkai keikhlasan akan menjadi bunga potong yang mungkin sesaat merona, dan selanjutnya masuk ke tempat sampah.
Nurul, sang aktivis da’wah, sedang belajar bersama kita menghayati rerangkai kata ini. Inilah Nurul, yang dalam aktivitas da’wahnya Allah perkenalkan pada Fahri, seorang ikhwan yang begitu mengagumkan. Tak terasa, pepatah jawa itu menemukan tempatnya di Mesir, “Witing tresna jalaran saka kulina.. Tumbuhnya cinta karena terbiasa.” Ia berdampingan dengan pepatah arab yang juga menggema di sana, “Qurbul wisaad wa thuulus siwaad.. cinta itu tumbuh karena dekatnya fisik dan panjangnya interaksi.”
Nurul, seorang aktivis yang memahami kaidah interaksi dalam ikatan syar’i, maka sejak awal baginya nikmat pacaran adalah setelah pernikahan. Dengan keagungan, ia coba arahkan cintanya terikat dalam bingkai suci. Pernikahan. Tetapi menawarkan diri sendiri kepada Fahri? Ia perempuan jawa yang mau tak mau di ikat tabu untuk hal seperti itu. Ia memilih sepasang perantara, Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemunah yang ternyata terlambat menyampaikan amanahnya. Fahri telah terlebih dahulu menyunting Aisha, meski jauh di lubuk hatinya Nurul juga adalah lentera yang bercahaya lebih terang daripada pelita-pelita lain.
Bagi seorang wanita, begitu konon, cinta pertama takkan terlupakan. Mari kita dengarkan Nurul bicara dalam suratnya, “Aku berusaha membuang cintaku padamu jauh-jauh. Tapi sudah terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap tegas, mencintaimu dan berterus terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku mencintaimu diam-diam, selama berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga cinta itu mendarahdaging tanpa aku berani berterus terang. Dan ketika kau tahu apa yang kurasa semuanya telah terlambat.”
Ya, Nurul merasa terlambat. Lalu ia mengajukan diri untuk satu hal yang menurutnya ringan bagi orang yang memahami Diin ini; Poligami. Tetapi Fahri, sebagaimana umumnya laki-laki yang dikaruniai kedewasaan dan pertimbangan mendalam, keberatan. Ia justru meminta Nurul membangun cintanya pada yang memang seharusnya ia cintai; suaminya kelak. Bagi Fahri, cinta sejati hanya ada setelah ikatan menghalalkan. Ia meminta Nurul mengesampingkan cinta yang belum saatnya itu. Dalam bahasa yang lebih awam, hati Nurul bergolak seperti yang digambarkan Sudhir Kakar, “Engkau memintaku untuk melupakan cintaku, seakan-akan cinta itu disebabkan oleh kemanjaanku..”
Teringat saya akan judul buku yang indah dari Mbak Izzatul Jannah, Karena Cinta Harus Diupayakan. Sebuah artikel dengan judul sama di dalam buku itu memuat kisah pembicaraan telepon antara beliau dengan seorang teman. Intinya, meski sudah berumahtangga cukup lama, si teman –seorang akhwat- masih memendam cinta yang menyekam dalam dada pada seorang ikhwan yg dikaguminya saat kuliah dulu. Dan ia, benar-benar tidak bisa – atau minimal kesulitan- untuk mencintai suaminya sendiri. Hwarakadah!
Seperti Mbak Izzatul Jannah menilai dalam uraiannya, saya sependapat bahwa ada yang telah membuntu di benak saudara kita ini. Ia kesulitan mencintai yang halal dan agung baginya, karena ia di perbudak cinta. Ia mendudukkan cinta sebagai penguasa yang membuat kita bertekuk lutut tanpa upaya apapun untuk mengendalikannya.
Jika pepatah jawa dan kata bijak dari Arab mengajarkan bahwa cinta bisa tumbuh setelah menikah, maka Allah mengajari kita untuk mengupayakan cinta. Seperti cinta kita padaNya yang tidak datang dengan sendirinya. Ia datang dengan iman. Iman datang karena hidayah. Hidayah datang karena jihad menjemput karuniaNya. Dan sebelum itu ada ikhtiar. Jika cinta pada yang Maha Agung adalah buah ikhtiar, mengapa kita tak mengupayakan cinta pada dia yang dihalalkan untuk kita dan justru terbelenggu oleh cinta yang tidak dihalalkanNya?
Ada dua pilihan ketika bertemu cinta
Jatuh cinta dan bangun cinta
Padamu, aku memilih yang kedua
Agar cinta kita menjadi istana, tinggi menggapai surga
Aisha dan Pernikahan Barakah
Kata – kata lembut yang kita bisikan pada pasangan kita,
Tersimpan di suatu tempat rahasia di surga.
Pada suatu hari, mereka akan berjatuhan bagaikan hujan, lalu tersebar
Dan misteri cinta akan tumbuh bersemi di segala penjuru bumi.
(Jalaluddin Ar Rumi)